Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan


 

Indeks Berita

Calon Anggota Dewan Belum Perlu Undur Diri Saat Maju Pilkada

Jumat, 01 Maret 2024 | 3/01/2024 10:46:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2024-03-01T15:56:43Z

Ahmad Alfarizy dan Nur FauziRamadhan pemohon prinsipal mengikuti sidang pengucapan putusan uji materiil Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, Kamis (29/02) di Ruang Sidang MK

Jakarta || gardakeadilannews.com
Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak seluruh permohonan Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan atas pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang Pengucapan Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (29/2/2024) dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebutkan status calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang terpilih sesungguhnya belum melekat hak dan kewajiban konstitusional yang berpotensi dapat disalahgunakan oleh calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang bersangkutan. Oleh karena itu, jika hal ini dikaitkan dengan kekhawatiran para Pemohon sebagai pemilih yang berpotensi tidak mendapatkan jaminan adanya pemilihan kepala daerah yang didasarkan pada pelaksanaan yang memberi rasa keadilan bagi para pemilih, maka kekhawatiran demikian adalah hal yang berlebihan. Sebab, jika dicermati berkenaan dengan sequence waktu yang ada saat ini, masih terdapat selisih waktu antara pelantikan calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang hingga saat ini direncanakan akan diselenggarakan pada tanggal 27 November 2024. Dengan demikian, maka belum relevan untuk memberlakukan syarat pengunduran diri bagi calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Namun demikian, Sambung Daniel, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempersyaratkan bagi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi sebagai anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD apabila tetap ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Selanjutnya berkaitan dengan dalil para Pemohon mengenai belum diakomodirnya ketentuan pengaturan pengunduran diri terhadap calon anggota DPR, DPD, DPRD yang akan menjadi calon kepala daerah bukan menjadi penyebab calon anggota dewan atau calon kepala daerah tersebut mengingkari amanat yang diberikan oleh pemilihnya, termasuk menjadi “second option” dalam memilih jabatan baginya. Dan terhadap jabatan yang masuk dalam rumpun “jabatan yang dipilih”, menurut Mahkamah hal demikian menjadi suatu bentuk keleluasaan atau kebebasan bagi para pemilih untuk menentukan pilihannya. Sebab, tidak tertutup kemungkinan penilaian kapabilitas dan integritas dari calon yang bersangkutan, lebih diketahui dan dirasakan oleh pemilih. Sebab pemilih merupakan “pengguna” dari calon anggota DPR, DPD, DPRD, dan bahkan calon kepala daerah yang bersangkutan.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah belum diakomodirnya persoalan tersebut tidak harus memperluas pemaknaan ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada, namun hal tersebut cukup diakomodir dengan penambahan syarat. Bahwa pengunduran diri calon anggota DPR, DPD, DPRD sebelum ditetapkan sebagai anggota justru berpotensi mengabaikan prinsip kebersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,” sampai Daniel.

 

Dilaksanakan Sesuai Jadwal

Sementara itu, mengingat pentingnya tahapan penyelenggaraan Pilkada yang telah ditentukan yang ternyata membawa implikasi terhadap makna keserentakan Pilkada secara nasional, Daniel menyebutkan bawah Mahkamah perlu menegaskan kembali berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.

Oleh karena itu, sambung Daniel, Pilkada harus dilakukan sesuai dengan jadwal dimaksud secara konsisten untuk menghindari adanya tumpang tindih tahapan-tahapan krusial Pilkada serentak 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai. Dengan kata lain, mengubah jadwal dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan Pilkada serentak. Oleh karenanya dalil-dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum.

“Dalam provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan dari perkara ini.

 Pendapat Berbeda

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 ini. Menurut Guntur, substansi permohonan para Pemohon hendaknya dikabulkan, sehingga ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada sepanjang frasa "menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan” inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk juga calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terpilih berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum.

“Dengan demikian, menurut pendapat saya, Permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan (gegrond wordt verklaard),” kata Guntur dikutip dari Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024.

(Tomson)
×
Berita Terbaru Update